Resensi Buku - MARKESOT BERTUTUR LAGI
Markesot ‘Hanyalah’ Sebuah Cara (Tetap) Menjadi Manusia
Muhammad Ainun Nadjib atau yang biasa di kenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun lahir di Jombang, Jatim, 27 Mei 1953. Dia adalah seorang budayawan multitalenta: penyair, penulis esai, pegiat teater, pemusik, dan lain-lain. Sebagai seorang penulis, Cak Nun sangat produktif, telah menghasilkan puluhan buku. Di antara karya-karya emasnya yaitu Dari Pojok Sejarah (1985), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), Markesot Bertutur (1993), dan Markesot Bertutur Lagi (1994). Selain berkiprah di dunia tulis-menulis, dia juga merupakan motor penggerak di balik kelompok musik Kiai Kanjeng dan pengajian komunitas Jamaah Maiyah yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Nah, Anda yang beruntung memiliki/membaca Markesot Berutur Lagi ini merupakan karya Cak Nun edisi terbaru (2013) dari edisi lama yang terbit pada Agustus 1994. Dalam buku setebal 342 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan ini, Cak Nun memberikan alasan mengapa sang tokoh, Markesot, menjadi sentral dalam penggalan-penggalan cerita yang memenuhi sembilan bagian dalam buku ini. Menurutnya, Markesot memang salah seorang tokoh dalam kehidupan pribadinya. Sebab, yang kemudian mendorong Cak Nun menuliskan hal-hal yang awalnya berangkat dari ketokohan Markesot adalah filsafat dan sikap hidupnya.
Menurutnya, Markesot tipe manusia alam. Dalam hal teknik dan keahlian apa pun yang dia miliki, dia seorang “seniman”. Dia tidak punya cita-cita. Tidak punya gagasan apa pun tentang yang disebut masa depan. Tidak membayangkan apa-apa tentang perjalanan hidupnya. Tidak mencemaskan hari tuanya. Tidak memimpikan istri atau anak. Dia tidak memikirkan bagaimana warna bajunya atau potongan rambutnya –meskipun yang ini mulai berubah sesudah sang sarjana (istrinya yang sarjana sedangkan dirinya sendiri hanya tamat sekolah dasar) berhasil menaklukkan hatinya.
Cak Nun dan Markesot memang sama-sama pernah duduk di sekolah dasar, kemudian lama sekali keduanya berpisah. Awal-awal Cak Nun menulis seri Markesot, menurutnya, sekadar merekonstruksi kenangan atas teman kanak-kanaknya itu dan memodifikasikannya menjadi tokoh imajiner yang diperlukan oleh masyarakat pembaca dalam situasi sejarah seperti sekarang. Setelah lebih dari dua puluh tahun kemudian, akhirnya Cak Nun bertemu kembali dengan Markesot, ternyata kebanyakan yang dituliskan itu relatif sinkron dengan Markesot yang sesungguhnya –meskipun dalam banyak hal dan tema, tentu saja, bersifat fiksi dan idealisasi. Penulis mengakui bahwa untuk sejumlah tulisan, Markesotnya adalah penulis itu sendiri; dan pada tulisan lain, merekalah Markesot: ada semacam inter-identifikasi antara sang Markesot dan sang penulis.
Pada hakikatnya, Markesot hanyalah sebuah cara (untuk tetap) bertahan menjadi manusia. Markesot Bertutur Lagi merupakan kelanjutan petualangan sang tokoh dalam mengarungi samudra permasalahan kita. Dibandingkan dengan buku pertamanya (Markesot Bertutur), buku keduanya (Markesto Bertutur Lagi) lebih seru dan lebih mengajak kita untuk merenungi hakikat kehidupan –tanpa menghilangkan sama sekali nuansa guyonan yang memang telah menjadi ciri khasnya.
Representasi Markesot hanyalah sedikit eksperimentasi untuk memberitahukan kepada banyak orang bahwa manusia dan kemanusiaan sesungguhnya tetap bisa dipertahankan. Manusia Markesot sekadar mengupayakan agar di tengah riuh-rendah orkestra zaman yang dahsyat ini sesekali terdengar dentingan logam hati-nurani.
Judul : MARKESOT BERTUTUR LAGI
ISBN : 978-979-433-763-9
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan, PT Mizan Pustaka
Cetakan : Edisi Baru, Februari 2013
Halaman : 342 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 14 x 20,5 cm
Kategori : Sosial Budaya
Bandung, 3 Mei 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 5 Mei 2013
Muhammad Ainun Nadjib atau yang biasa di kenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun lahir di Jombang, Jatim, 27 Mei 1953. Dia adalah seorang budayawan multitalenta: penyair, penulis esai, pegiat teater, pemusik, dan lain-lain. Sebagai seorang penulis, Cak Nun sangat produktif, telah menghasilkan puluhan buku. Di antara karya-karya emasnya yaitu Dari Pojok Sejarah (1985), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), Markesot Bertutur (1993), dan Markesot Bertutur Lagi (1994). Selain berkiprah di dunia tulis-menulis, dia juga merupakan motor penggerak di balik kelompok musik Kiai Kanjeng dan pengajian komunitas Jamaah Maiyah yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Nah, Anda yang beruntung memiliki/membaca Markesot Berutur Lagi ini merupakan karya Cak Nun edisi terbaru (2013) dari edisi lama yang terbit pada Agustus 1994. Dalam buku setebal 342 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan ini, Cak Nun memberikan alasan mengapa sang tokoh, Markesot, menjadi sentral dalam penggalan-penggalan cerita yang memenuhi sembilan bagian dalam buku ini. Menurutnya, Markesot memang salah seorang tokoh dalam kehidupan pribadinya. Sebab, yang kemudian mendorong Cak Nun menuliskan hal-hal yang awalnya berangkat dari ketokohan Markesot adalah filsafat dan sikap hidupnya.
Menurutnya, Markesot tipe manusia alam. Dalam hal teknik dan keahlian apa pun yang dia miliki, dia seorang “seniman”. Dia tidak punya cita-cita. Tidak punya gagasan apa pun tentang yang disebut masa depan. Tidak membayangkan apa-apa tentang perjalanan hidupnya. Tidak mencemaskan hari tuanya. Tidak memimpikan istri atau anak. Dia tidak memikirkan bagaimana warna bajunya atau potongan rambutnya –meskipun yang ini mulai berubah sesudah sang sarjana (istrinya yang sarjana sedangkan dirinya sendiri hanya tamat sekolah dasar) berhasil menaklukkan hatinya.
Cak Nun dan Markesot memang sama-sama pernah duduk di sekolah dasar, kemudian lama sekali keduanya berpisah. Awal-awal Cak Nun menulis seri Markesot, menurutnya, sekadar merekonstruksi kenangan atas teman kanak-kanaknya itu dan memodifikasikannya menjadi tokoh imajiner yang diperlukan oleh masyarakat pembaca dalam situasi sejarah seperti sekarang. Setelah lebih dari dua puluh tahun kemudian, akhirnya Cak Nun bertemu kembali dengan Markesot, ternyata kebanyakan yang dituliskan itu relatif sinkron dengan Markesot yang sesungguhnya –meskipun dalam banyak hal dan tema, tentu saja, bersifat fiksi dan idealisasi. Penulis mengakui bahwa untuk sejumlah tulisan, Markesotnya adalah penulis itu sendiri; dan pada tulisan lain, merekalah Markesot: ada semacam inter-identifikasi antara sang Markesot dan sang penulis.
Pada hakikatnya, Markesot hanyalah sebuah cara (untuk tetap) bertahan menjadi manusia. Markesot Bertutur Lagi merupakan kelanjutan petualangan sang tokoh dalam mengarungi samudra permasalahan kita. Dibandingkan dengan buku pertamanya (Markesot Bertutur), buku keduanya (Markesto Bertutur Lagi) lebih seru dan lebih mengajak kita untuk merenungi hakikat kehidupan –tanpa menghilangkan sama sekali nuansa guyonan yang memang telah menjadi ciri khasnya.
Representasi Markesot hanyalah sedikit eksperimentasi untuk memberitahukan kepada banyak orang bahwa manusia dan kemanusiaan sesungguhnya tetap bisa dipertahankan. Manusia Markesot sekadar mengupayakan agar di tengah riuh-rendah orkestra zaman yang dahsyat ini sesekali terdengar dentingan logam hati-nurani.
Judul : MARKESOT BERTUTUR LAGI
ISBN : 978-979-433-763-9
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan, PT Mizan Pustaka
Cetakan : Edisi Baru, Februari 2013
Halaman : 342 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 14 x 20,5 cm
Kategori : Sosial Budaya
Bandung, 3 Mei 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 5 Mei 2013
Belum ada Komentar untuk "Resensi Buku - MARKESOT BERTUTUR LAGI "
Posting Komentar